Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2022

IBA

Gambar
setengah hari sudah aku memelas di samping pilarmu, tuan. mengiba diri agar kau beri jalan. aku sudah berlari sedemikian kencang. alas kaki sengaja tak kupakai, barangkali jiwaku sudah perih lebih dulu ketimbang tumitku. buka pagarnya, tuan. sesakku wajib sudah kau selamatkan. ataukah kau memang sengaja? mengambil sedikit hatiku, sedikit saja. lalu selebihnya kau telantarkan dengan sadar. aku pikir kau pecinta yang bajik, tuan. sungguh tidak, aku telah celaka oleh pikiranku sendiri. padahal dulu kau sudah sering ku beritahu, ini akan menyakitkan. kau tak sepatutnya merampas apa yang memang tak ingin kau pelihara. tapi apa boleh dikata, tuan. sedikit yang kau bawa itu sudah membuatku terlanjur dan terlalu mengasihimu. tak ada lagi ruang yang ingin kutuju selain pelukanmu. namun, apapun elegi yang kukidungkan, telah sukar membujuk jiwaku untuk kembali pulang. ia lebih memilih hilang dibagian dirimu yang terdalam. hingga pada akhirnya aku harus menerima kenyataan, bahwa hatiku...

SELESAI

Gambar
aku sudah ringkih, tuan. sekawanan rindu itu, juga sudah ku usir dengan lantang, bukan lantaran mereka kurang ajar, tapi bahumu benar yang kian menerus samar. pertemuan telah sukar jadi penawar. pun bersama telah jera jadi nestapa. hujan dan dingin adalah sebaik-baiknya penenang. jejak sepedamu di halaman itu, bunyi tepek dari sendal kesayanganmu itu, bahkan raksimu yang kudamba itu, banyak maaf, tuan. mereka tak lagi kutunggu, tak lagi kuharu, tak lagi kucumbu. tuan, sakitku sudah lebih kuasa. aku bukan lagi puanmu yang tegar, tawarmu membuatku gering hingga ke tulang, dengan nelangsa aku memilih tumbang, dan denganmu tuan, aku selesai. oleh: mona anarki

SAJAK UNTUK BAPAK

Gambar
saat itu pada usia tak genap tujuh, aku mendengar kabar elegimu. apa maksudnya? tidak sedih. tidak marah. tidak pula haru. aku bertanya tepat pada usia sepuluh. " apa arti kematian, bu? " ibu ketar-ketir. resah jua gusar. memandang ibu membuat jiwaku kecut. aku mulai paham, wajah ibu lebih dari sekedar jawaban. aku berlari ke arah pintu kamar. melilit tubuh dengan kain pintu. menangis tanpa air mata. rupanya,  bapak pergi dengan membawa penuh air mataku, juga air matanya. ribuan hari berarak linglung, kujelajahi rumah teman bapak. ia cukup sulit kucari. disekian siang, aku berjumpa. " mang dadang, dimana bapak? " sial, jawabannya kaku dan bahasanya pun tak sempat kucerna. dewasa sudah. untuk bapak nan jauh disana, di tanah sunda nan megah, sedang aku diluasnya Sumatera, "maaf pak, tanah samping pusaramu masih belum kunjung kupijak". oleh: mona anarki